Halo Sobat Pintar, pernahkah kamu menerima pembayaran yang ternyata dipotong lebih dulu oleh pihak pemberi kerja atau klien? Kalau iya, besar kemungkinan potongan itu adalah bagian dari PPh 23. Pajak ini sering membingungkan, apalagi bagi kamu yang baru menjalani usaha, menjadi freelancer, atau menjalankan layanan profesional. Oleh karena itu, memahami tarif PPh 23 dan perhitungan terbarunya adalah hal yang sangat penting.

PPh 23 atau Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan jenis pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri. Bedanya dengan PPh 21 yang umumnya dikenakan atas gaji pegawai, PPh 23 lebih banyak dikenakan atas transaksi antar perusahaan, layanan jasa, hingga penghasilan seperti royalti, bunga, dividen, dan hadiah. Pajak ini dibayarkan bukan oleh penerima penghasilan, melainkan dipotong oleh pihak yang melakukan pembayaran.
Jadi, misalnya kamu menyewa jasa desain dari seorang freelancer, maka kamu sebagai pihak yang membayar jasa tersebut akan memotong pajak PPh 23 terlebih dahulu, lalu menyetorkannya ke negara. Sisa pembayaran yang telah dipotong pajak itulah yang diterima oleh pihak penyedia jasa. Sistem seperti ini disebut sistem pemotongan atau withholding tax.
Tarif PPh 23 Terbaru
Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah berapa persen tarif PPh 23 sebenarnya. Jawabannya tergantung dari jenis penghasilan atau objek pajaknya. Untuk penghasilan dari jasa, tarif yang dikenakan adalah 2% dari jumlah bruto pembayaran. Sedangkan untuk penghasilan dari dividen, bunga, royalti, hadiah, dan sejenisnya, tarifnya adalah 15%.
Namun, ini hanya berlaku jika penerima penghasilan sudah memiliki NPWP atau NIK yang aktif sebagai NPWP. Jika belum memiliki NPWP atau belum mengaktifkan NIK sebagai NPWP, maka tarif yang dikenakan akan menjadi dua kali lipat. Artinya, untuk jasa yang biasanya hanya dipotong 2%, akan menjadi 4%. Untuk royalti yang biasanya 15%, menjadi 30%.
Itu sebabnya penting sekali bagi setiap penerima penghasilan untuk memastikan bahwa identitas perpajakannya sudah aktif dan terdaftar. Tanpa itu, nilai pemotongan bisa jauh lebih besar, dan tentu akan berdampak langsung pada pendapatan bersih yang diterima.
Baca juga: Jenis Pajak Perusahaan yang Wajib Dibayar
NIK Kini Berfungsi Sebagai NPWP
Mulai 2024, pemerintah resmi mengintegrasikan NIK sebagai pengganti NPWP dalam sistem administrasi perpajakan. Meski terdengar praktis karena kini cukup menggunakan NIK untuk urusan pajak, kamu tetap harus melakukan aktivasi melalui laman DJP Online agar bisa digunakan dalam transaksi nyata.
Banyak orang salah paham, mengira hanya dengan memiliki KTP berarti sudah otomatis terdaftar sebagai wajib pajak. Padahal, tanpa aktivasi di sistem Direktorat Jenderal Pajak, NIK kamu belum bisa digunakan untuk menghindari pemotongan tarif pajak yang lebih tinggi. Ini sering terjadi dalam transaksi jasa antara individu dan perusahaan, di mana pemotong pajak akan mengenakan tarif ganda jika identitas pajak kamu belum terdaftar secara aktif.
Contoh Perhitungan PPh 23 dalam Transaksi
Untuk memudahkan pemahaman, mari kita bahas sebuah contoh sederhana. Katakanlah kamu menyewa jasa konsultan dan nilai jasa yang disepakati adalah Rp10.000.000. Karena ini termasuk penghasilan jasa, maka tarif PPh 23 yang berlaku adalah 2%. Maka, kamu sebagai pihak pemberi kerja wajib memotong Rp200.000 dari total pembayaran. Konsultan akan menerima Rp9.800.000 dan Rp200.000 akan disetorkan ke negara.
Kalau ternyata konsultan tersebut belum punya NPWP atau belum mengaktifkan NIK-nya, tarif yang dikenakan akan menjadi 4%. Jadi, potongan menjadi Rp400.000 dan jumlah yang diterima konsultan tinggal Rp9.600.000. Selisihnya cukup besar, bukan? Ini adalah alasan mengapa penting untuk selalu memastikan status perpajakan dari penerima penghasilan.
Sekarang bayangkan transaksi yang lebih besar, misalnya kamu membayar royalti kepada seorang penulis sebesar Rp50.000.000. Bila si penulis memiliki NPWP atau NIK aktif, maka potongan adalah 15% atau Rp7.500.000. Tapi kalau belum, potongannya bisa membengkak menjadi Rp15.000.000. Nilai yang sangat signifikan ini bisa berdampak pada kepuasan pihak penerima jika tidak dikomunikasikan dengan baik.
Baca juga: Rumus Hitung PPh, Hitung Sendiri Lebih Mudah!
Kapan Pajak Ini Harus Disetor dan Dilaporkan?
Setelah kamu memotong pajak dari pembayaran, langkah berikutnya adalah melakukan penyetoran ke kas negara. Penyetoran PPh 23 paling lambat dilakukan tanggal 10 di bulan berikutnya setelah pembayaran dilakukan. Misalnya kamu melakukan transaksi di tanggal 25 Agustus, maka kamu harus menyetor pajak tersebut sebelum tanggal 10 September.
Setelah menyetor, kamu juga wajib melaporkan pemotongan ini melalui SPT Masa PPh 23 yang tersedia di situs DJP Online. Pelaporan ini dilakukan melalui fitur e-Bupot. Prosesnya sudah jauh lebih mudah dibandingkan dengan beberapa tahun lalu karena kini bisa dilakukan sepenuhnya secara digital. Kamu hanya perlu membuat bukti potong, mengisi formulir SPT, dan mengunggahnya sesuai ketentuan.
Yang sering dilupakan adalah bahwa menyetor dan melaporkan pajak adalah dua hal yang berbeda. Meski kamu sudah menyetorkan pajaknya tepat waktu, tapi kalau tidak dilaporkan, tetap saja kamu dianggap belum memenuhi kewajiban perpajakan. Maka dari itu, pastikan kedua langkah tersebut dilakukan secara lengkap dan tepat waktu.
Risiko Jika Tidak Patuh
Apabila kamu telat menyetor atau melaporkan pajak, akan ada sanksi administratif yang diberlakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Keterlambatan bisa dikenai denda, bunga, atau bahkan pemeriksaan lebih lanjut. Di sisi lain, jika kamu salah menerapkan tarif atau tidak memotong pajak sama sekali padahal seharusnya kena, kamu bisa diminta untuk menanggung pajaknya sendiri beserta dendanya.
Dari sisi bisnis, reputasi juga bisa terkena dampaknya. Banyak perusahaan besar dan instansi pemerintah yang mewajibkan mitranya untuk patuh pajak. Jika kamu terbukti tidak menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar, kemungkinan besar kamu akan kehilangan kepercayaan dari mitra kerja.
Baca juga: Pajak Ad Valorem: Pengertian, Jenis, Contoh dan Cara Hitung
Kesimpulan
PPh 23 adalah pajak yang dikenakan atas berbagai jenis penghasilan, mulai dari jasa, royalti, bunga, dividen, hingga hadiah. Tarifnya bervariasi antara 2% dan 15% tergantung jenis penghasilannya. Jika penerima penghasilan belum memiliki NPWP atau NIK aktif, maka tarifnya menjadi dua kali lipat.
Pemahaman tentang kapan dan bagaimana pajak ini dikenakan sangat penting, apalagi bagi kamu yang menjalankan bisnis, menyewa jasa, atau membayar imbalan kepada pihak lain. Jangan sampai kamu justru menanggung denda karena tidak tahu aturan dasarnya.
Pastikan kamu menyetor dan melaporkan PPh 23 tepat waktu. Aktifkan NIK-mu di sistem perpajakan, dan gunakan platform resmi DJP untuk membuat bukti potong dan melaporkan pajak dengan mudah.
Kalau kamu ingin belajar lebih banyak soal perpajakan dan tips keuangan lainnya, kamu bisa cek artikel edukatif lain di Kredit Pintar. Yuk, jadi warga negara yang taat pajak mulai dari sekarang!
Artikel ini ditulis oleh Kredit Pintar, perusahaan fintech berizin dan diawasi OJK yang memberi kemudahan dalam penyaluran pinjaman daring bagi seluruh rakyat Indonesia. Ikuti blog Kredit Pintar untuk mendapatkan informasi, tips bermanfaat, serta promo menarik lainnya.


