Mengenal Lebih Jauh Tentang UU Perkawinan di Indonesia

25 Jul 2023 by kreditpintar, Last edit: 24 Jul 2023

Secara umum, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang kemudian disebut sebagai suami istri. Tujuannya adalah untuk membentuk sebuah rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itulah, dalam prosesnya perkawinan harus dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaan sang calon pengantin. Lebih lanjut, perkawinan juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara dalam hal ini di negara kita Indonesia. Lantas, apa sebenarnya dasar-dasar perkawinan? Apakah jika tidak dicatat oleh hukum negara, perkawinan menjadi tidak sah? Bolehkah seseorang menikah dengan pasangannya yang berbeda agama di Indonesia? Sah-kah perkawinan mereka? Semuanya tentang UU Perkawinan akan dibahas di bawah ini. 

Mengenal Lebih Jauh Tentang UU Perkawinan di Indonesia

Baca juga: Mahar yang Tidak Diperbolehkan Menurut Islam

Dasar-dasar Perkawinan

Dasar-dasar perkawinan adalah seperti berikut.

  1. Perkawinan bersifat sah jika dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku pada agama dan kepercayaan masing-masing
  2. Tiap perkawinan dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  3. Dalam sebuah perkawinan, pada azasnya seorang pria hanya boleh memiliki satu orang istri dan begitu juga sebaliknya, seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami
  4. Pengadilan bisa memberi izin kepada seorang suami untuk memiliki istri lebih dari satu jika dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

Dasar Hukum atau UU Perkawinan

Secara umum, dasar hukum perkawinan atau UU Perkawinan di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan yang berlaku untuk semua warga Indonesia apapun agamanya. Isinya adalah seperti berikut. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan tentang definisi perkawinan. Yakni suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk sebuah keluarga. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa: 

  1. Ayat 1: Perkawinan adalah sah bila diakukan sesuai hukum masing-masing agama dan kepercayaan
  2. Ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Meski merupakan dasar yang dipakai untuk mengatur perkawinan, namun pada kenyataannya di Indonesia ada banyak perkawinan yang hanya memenuhi pasal 2 ayat 1 saja yakni untuk tuntutan agama saja. Sedangkan untuk pasal 2 ayat 2 yaitu tentang tuntutan administratif, masih ada banyak pasangan yang tak bisa terpenuhi karena perkawinan mereka tidak tercatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Apabila UU Nomor 1 Tahun 1974 ditelaah, Anda akan menemukan beberapa pasal yang perlu disoroti dan diberi perhatian dalam kaitannya dengan perkawinan dan keluarga. Misalnya, tidak adanya bab yang memuat tentang pasal-pasal sanksi ataupun ketentuan pidana seperti UU lain. Jadi, UU ini sepenuhnya merupakan masalah perdata, namun jika dilanggar, sanksinya sangat ringan, bahkan tak ada sama sekali. Atau jika ingin dipidana misalnya pada kasus perkawinan di bawah umur, maka harus menggunakan UU Nomor 23 Tahun 2002 mengenai perlindungan anak. Karena itulah, pemerintah pun melakukan revisi UU lebih lanjut sehingga pada lanjutannya menghasilkan UU Nomor 16 Tahun 2019 mengenai Perubahan atas UU nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun sebelumnya, sebenarnya sudah ada dua peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan dalam kaitannya untuk memperkuat UU Nomor 1 Tahun 1974 atau dengan kata lain sebagai pelengkap dan catatan kaki dari UU tersebut. Misalnya, UU Nomor 10 Tahun 1983 mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi PNS serta Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selanjutnya, selama pemerintah menggelar sidang lanjutan untuk menguji undang-undang yang terbaru yaitu UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, ahli dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan tentang peraturan perundang-undangan tertulis lain yang mengatur tentang perkawinan. Yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam Buku I. Berdasarkan pada kedua peraturan atau ketentuan tersebut, bisa dikatakan bahwa UU Perkawinan itu mempunyai irisan serta urusan dengan sistem hukum yang hidup juga terawat oleh dan di tengah-tengah masyarakat hukum Indonesia. Dan sistem hukum yang dimaksud itu adalah hukum agama dan hukum adat yang terus terawat dan hidup selama ini dalam konteks ilmu serta praktik hukum di Indonesia. 

Mengenal Lebih Jauh Tentang UU Perkawinan di Indonesia

Baca juga: Surat Keterangan Belum Menikah: Contoh dan Cara Buat

Perlukah Pencatatan Perkawinan Itu?

Umumnya, pencatatan yang dilakukan untuk suatu perkawinan bukanlah syarat sahnya perkawinan tersebut. Jadi, sebenarnya pencatatan perkawinan tidak akan mempengaruhi sah tidaknya status suami istri. Hal tersebut didukung dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah faktor yang akan menentukan sah-nya perkawinan. Sebagai informasi, materi pokok putusan tersebut adalah tentang pembahasan untuk membuktikan bahwa Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan tentang hubungan perdata anak di luar perkawinan itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yaitu seorang ayah.Selain itu, dalam Putusan MK itu juga dikatakan bahwa pencatatan cuma menjadi suatu kewajiban administratif yang pada akhirnya akan membuktikan terjadinya suatu perkawinan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Kewajiban administratif yang dimaksud disini adalah supaya negara bisa memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, serta pemenuhan HAM yang bersangkutan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku pada negara hukum yang demokratis. Namun perlu diingat juga bahwa perkawinan yang tidak dicatat ini bisa menimbulkan beberapa akibat hukum yang mencakup konsekuensi yuridis terhadap akibat-akibat perkawinan misalnya hak-hak keperdataan berikut kewajiban pemberian nafkah beserta hak warisnya. Alasannya karena pencatatan perkawinan menjadi syarat formal untuk legalitas atas suatu kejadian yang bisa mengakibatkan konsekuensi yuridis baik itu dalam hak-hak keperdataan maupun kewajiban mengenai hak nafkah serta hak waris. Jadi kesimpulannya, pencatatan perkawinan tidak menjadi syarat sah perkawinan di Indonesia. Pencatatan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan ini hanyalah merupakan suatu bukti yang otentik untuk melindungi hak-hak yang muncul dari perkawinan. Karena itulah, meski pencatatan bukanlah syarat sah namun bila tidak dicatat akan membawa konsekuensi terhadap akibat-akibat hukum yang muncul. 

Sah-kah Perkawinan Beda Agama? 

Lalu, bagaimana dengan pasangan yang ingin menikah beda agama? Apakah diperbolehkan oleh hukum di Indonesia?  Berdasarkan pada berbagai literatur, dikatakan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam atau KHI, akad perkawinan dalam sistem pernikahan Islam menjadi sah apabila sudah memenuhi syarat perkawinan.Salah satu syarat yang dimaksud diantaranya adalah calon mempelai laki-laki beragama Islam dengan calon mempelai perempuan yang juga beragama Islam. Dan diantara kedua calon tersebut tak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan seperti halangan karena perbedaan agama. Sebagai informasi, larangan perkawinan karena beda agama bagi semua umat Islam di Indonesia itu terdapat dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat 1 yang dikaitkan dengan pasal 8 huruf f, pasal 40 huruf c, serta pasal 4 KHI. Dalam pasal-pasal di atas tersebut, tak ada yang akan merugikan hak-hak konstitusional semua warga. Dan terkait dengan perkawinan beda agama, misalnya antara calon mempelai muslim perempuan dengan calon mempelai non-muslim laki-laki ataupun sebaliknya, itu pada dasarnya dihukumkan sebagai “haram” dan dinyatakan “tidak sah” secara hukum. Kedua hukum “haram” dan “tidak sah” itu didasarkan menurut spirit hukum fikih Islam maupun semangat peraturan perundang-undangan negara. Bahkan sebagaimana yang termuat dalam pasal 8 huruf f UU Perkawinan, dilarang jelas perkawinan antara orang yang berbeda agama, misalnya dalam hal ini antara warga negara yang muslim dengan yang non-muslim.  Jadi, dalam hukum Islam, perkawinan itu adalah ibadah, maka perlindungan terhadap orang-orang Islam yang menjalankan ibadahnya melalui perkawinan itu diatur dalam pasal 28 E ayat 1 UUD 1945. 

Mengenal Lebih Jauh Tentang UU Perkawinan di Indonesia

Baca juga: Apa Perbedaan Mahar dan Mas Kawin? Cek Penjelasannya Di Sini

Demikianlah beberapa penjelasan terkait UU Perkawinan. Semoga bermanfaat untuk Anda. Artikel ini ditulis oleh Kredit Pintar, perusahaan fintech berizin dan diawasi OJK yang memberi kemudahan dalam penyaluran pinjaman online bagi seluruh rakyat Indonesia. Ikuti blog Kredit Pintar untuk mendapatkan informasi, tips bermanfaat, serta promo menarik lainnya.

Kredit Pintar - pinjaman online yang terdaftar di ojk
24 Jul 2023
mobile-close
Pinjam kilat 20 juta!Download